I Have a Dream

Apa yang ingin kau lakukan ketika kau menjadi dewasa?, adakah mimpimu yang belum tercapai?. Bagaimana masa depanmu kelak jika kau tak memiliki mimpi, bagiku itu adalah salah satu tujuan mengapa kita hidup. Aku sudah terlalu kebal mendengar teguran dan nasihat, aku tak ingin menjadi seperti yang kalian inginkan, aku hanya ingin mengejar impianku. Meski mereka bilang ini hanya bagian dari fantasiku yang terlalu berlarut-larut, aku tetap menggenggam erat impian itu bersama harapan. Walau kenyataannya kini belum teraih juga.

Sang malam menjemput senja yang bermain di langit sore. Aku meletakkan gitarku ke dalam kotaknya. Orang-orang yang tadi mengerumuniku lambat laun pergi, menyisakan aroma-aroma berbeda dari tubuh mereka. Jalanan mulai gelap dan udara mulai dingin, kursi tunggu disepanjang peron stasiun ikut menjadi dingin karena rangkanya terbuat dari besi, hal ini cukup membuatku menggigil sambil menunggu kereta yang akan mengantarku pulang. Baca lebih lanjut

Altair

Cinta, hal yang dulu pernah kau ajarkan padaku. Yang pernah aku pertahankan dengan susah payah, meski akhirnya angin menerbangkannya bersama abu musim panas. Kemudian waktu menuntunku ke masa dimana aku selalu mempertanyakan keadilan. Ternyata hidup tak semudah seperti yang aku bayangkan ketika aku masih kecil. Segitiga musim panas yang selalu kita cintai ternyata adalah kisah terakhir kau berpulang pada tuhan. Meski itu sudah 10 tahun lalu aku tak pernah melupakannya, dan tersimpan jelas di memoriku. Aku telah membuat Tanzaku untuk kita di festival Tanabata yang tinggal beberapa hari lagi. Kau pasti masih ingatkan?, ketika dulu kita membuat Tanzaku untuk kita sendiri kemudian melarungkannya di sungai pada malam hari, ketika itu segitiga musim panas menjadi saksinya. Kau tahu, selama 10 tahun ini aku melarungkannya sendiri. Aku sering mengingatmu ketika melalui jalan setapak menuju sungai, melewati taman hijau dengan bunga-bunga yang cantik. Aku jadi rindu padamu, Altair. Jika akhirnya kita harus berpisah seperti ini, harusnya dulu aku menolak untuk menjadi Vega-mu.

***

“Apa harapanmu untuk tahun ini?” tanyaku pada seorang anak lelaki seumuranku yang sedang sibuk dengan Tanzaku-nya. Dia melirikku sekilas lalu berkata,

“Rahasia.” Ujarnya sambil menyunggingkan senyumnya yang nakal

“Dasar pelit.”

Dia tetap tak berpaling padaku dan asik dengan dunianya sendiri.

“Sepulang sekolah ikut aku mencari bambu ya.”Ujarnya

“Untuk apa?”

“Tentu saja untuk festival Tanabata, lihat aku sudah membuat permohonan sebanyak ini, aku ingin melarungkannya sendiri di sungai.”

“Kau membuat permohonan sebanyak itu? itu namanya serakah.”

“Dasar nenek cerewet, mau ikut aku tidak?”
Baca lebih lanjut

Yang lebih berharga

Gitar berwarna coklat yang berdiri kaku dipojok kamarku seakan menjadi saksi bisu sebuah mimpi yang dulu ingin aku raih, yang akhirnya harus aku pendam sedalam-dalamnya kala aku harus menerima segala kemalangan ini. Senar gitarnya yang dulu kokoh, kini terlihat berkarat dan beberapa sudah putus. Teringat saat terakhir aku bersama mereka, berpeluh semangat menggapai mimpi. Kini tersisa tangis dan kenangan yang mengisi memori lamaku. Bukannya aku ingin kembali ke masa lalu. Namun kisah kelam itu telah merampas hidup dan jiwaku. Tabung-tabung asa itu tak lagi memberiku nafas, semakin menghilang, semakin tenggelam, semakin pudar dan sirna. Hari kelam itu masih terekam sempurna dibenakku, dan kini hatiku masih semuram 3 tahun lalu.

***

Awal dari kekosongan hidupku. Seakan baru sedetik lalu aku berbicara dengan mereka, bercanda dengan mereka, bercengkrama dengan mereka. Kini yang ku lihat hanya puing-puing dan segala perabotan yang mulai ditelan perlahan-lahan oleh air yang sangat banyak itu. Aku memanggil nama mereka, berteriak dan terus berteriak. Ayah, ibu, dan teman-teman, dimana mereka?. Air, mengapa begitu banyak air disekitarku? bencana apa ini tuhan?. Tenggorokanku tercekat, ketika ku lihat dengan mata kepalaku sendiri, begitu jelas kedua jasad itu terapung beberapa meter dari tempatku terduduk lemah, tenggorokanku tercekat, aku ingin berteriak namun tak mampu. Aku mulai tersadar, ternyata banyak jasad lain disekitarku yang terapung-apung tanpa nyawa. Tubuhku bergetar hebat, tulangku terasa ngilu semua, tuhan apa hanya aku yang selamat dari bencana ini? kenapa?.

Beberapa hari ini siaran berita tv ditempat penampungan bencana selalu menyiarkan perkembangan evakuasi bencana yang mereka sebut bencana tsunami itu. Aku meringkuk di pojok tenda memikirkan nasibku yang kini sendiri, aku seperti kehilangan segalanya. Bencana ini mengambil semuanya dariku. Tempat awal dari mimpiku kini bermuram durja. Mungkin tidak hanya aku yang merasa seperti ini, banyak orang yang juga merasakan hal yang sama, hidup bersama kenangan manis dengan orang-orang tersayang yang kini telah dipanggil oleh tuhan.

“Onee-chan.”

Ku dongakkan kepalaku, gadis yang memanggilku onee-chan itu tersenyum dengan senyum khasnya yang memamerkan kedua lesung pipitnya.

“Onee-chan, sekarang waktunya makan siang.”

Gadis itu baru aku kenal beberapa hari yang lalu. Dia adalah salah satu sukarelawan bencana yang nampaknya masih sangat muda, sepertinya dia sangat suka mengingatkanku untuk segera makan.

“Ah, iya aku akan segera ke sana.” Jawabku dengan malas

“Ayolah onee-chan, yang lain sudah menunggu di ruang makan.” Ajaknya sambil menyentuh punggung tanganku. Dengan sedikit malas aku beranjak dan menuju tenda lain yang dia sebut ruang makan itu. Tenda besar yang cukup luas itu memang berfungsi sebagai ruang makan bagi korban bencana. Benar kata gadis itu, sudah banyak orang memenuhi tenda itu. Mereka duduk bersila di tanah yang beralaskan tikar. Di sini kami semua sama, kehilangan harta paling berharga dalam hidup yaitu keluarga dan teman-teman.

Baca lebih lanjut

You Are My Friend (Cerpen)

cerpen you are my friend cover

‘Kamu adalah sahabatku, sedangkan aku seorang pengecut yang tak dapat membelamu.’

Airi, begitulah semua orang memanggilnya. Seorang gadis pendiam diluar namun sebenarnya dia sangat hangat, dan ceria didalam.

“Kau tau kenapa aku suka melihat awan dan matahari?” tanya Airi tiba-tiba padaku

“Memangnya kenapa?” tanyaku balik

“Karena jika mereka bersama kau akan melihat langit yang cantik seperti sekarang.” Katanya sambil mendongakkan kepalanya ke langit

“Benar, langit menjadi indah.”

“Lalu, aku tidak begitu suka mendung dan hujan.”

“Kenapa?” tanyaku

“Entahlah, mereka membuat langit tidak cantik langit, tidak lagi biru seperti sekarang.”

Aku memandang Airi yang tersenyum memandang langit. Menurutku Airi itu seperti matahari, dia selalu ceria dan tersenyum tiap waktu. Sedangkan aku seperti bunga yang tak dapat tumbuh jika tanpa matahari, jadi aku pikir Airi adalah matahariku. Dia selalu membuatku kembali merekah tiap aku patah semangat, selalu mendengarkan curhatanku, dan menghiburku jika aku sedih.

Airi mungkin matahari bagiku, tapi bagi Yuma, Airi itu seperti hal buruk yang harus disingkirkan. Aku terkadang tak habis pikir bagaimana bisa Yuma begitu membenci Airi hanya karena ia saudara tirinya. Padahal Airi tak pernah jahat padanya, tapi Yuma begitu bencinya pada Airi. Apa memang sikap seorang saudara tiri seperti itu?.

Aku, Airi dan Yuma adalah teman sekelas. Yuma suka meluncurkan kata-kata kasar bila matanya itu sudah menangkap sosok Airi. Tidak segan ia melakukan hal yang disengaja, seperti tiba-tiba dia menjegal Airi yang berjalan ke arahku. Yuma hanya tersenyum sinis dan pergi. Yang dapat kulakukan hanya membantu Airi berdiri dan mengobati lukanya, aku tak bisa membalas Yuma, membela pun aku tak sanggup. Ada apa denganku? apa aku terlalu takut pada Yuma yang tatapannya seperti iblis yang siap menerkam siapa saja yang berani melawannya?.
Baca lebih lanjut

[Cerpen] Graduation Photo

Tokoh:

Kawazoe Fumiya/Miya

Edogawa Naoki/Nao

Pohon willow

 

 

Miya membuka tiap lembar album yang baginya penuh kenangan itu. Di mana tersimpan banyak cerita di masa lalu. Sebuah foto membuatnya terpaku, cukup lama dia memperhatikan foto itu semula ekspresinya yang ceria sedikit demi sedikit meredup. Tatapannya menjadi berkaca-kaca, seakan begitu sedih rasanya menatap foto itu. Dibukanya halaman selanjutnya, ekspresi wajahnya semakin sendu, terkadang dia tersenyum kecil. “Kau terlalu banyak gaya, nao-kun.” Ucapnya sambil menatap dalam-dalam seseorang dalam tiap foto yang dia lihat. Ternyata hal itulah yang membuatnya sedih seseorang di masa lalunya.

Miya teringat ketika kemarin dia bertemu sosok di dalam foto itu, bukan bertemu bisa dibilang Miya mengawasi pria itu dari jauh. “Kau masih sama seperti di foto, nao-kun.” Pria tinggi berjas abu-abu itu membalikkan badannya kearah tempat Miya bersembunyi, dia merasa ada orang yang mengawasinya. Pria itu hanya menggelengkan kepalanya pelan, “Mungkin hanya perasaanku saja.” Batinnya. Mia terkekeh dibalik persembunyiannya. Baca lebih lanjut