Gitar berwarna coklat yang berdiri kaku dipojok kamarku seakan menjadi saksi bisu sebuah mimpi yang dulu ingin aku raih, yang akhirnya harus aku pendam sedalam-dalamnya kala aku harus menerima segala kemalangan ini. Senar gitarnya yang dulu kokoh, kini terlihat berkarat dan beberapa sudah putus. Teringat saat terakhir aku bersama mereka, berpeluh semangat menggapai mimpi. Kini tersisa tangis dan kenangan yang mengisi memori lamaku. Bukannya aku ingin kembali ke masa lalu. Namun kisah kelam itu telah merampas hidup dan jiwaku. Tabung-tabung asa itu tak lagi memberiku nafas, semakin menghilang, semakin tenggelam, semakin pudar dan sirna. Hari kelam itu masih terekam sempurna dibenakku, dan kini hatiku masih semuram 3 tahun lalu.
***
Awal dari kekosongan hidupku. Seakan baru sedetik lalu aku berbicara dengan mereka, bercanda dengan mereka, bercengkrama dengan mereka. Kini yang ku lihat hanya puing-puing dan segala perabotan yang mulai ditelan perlahan-lahan oleh air yang sangat banyak itu. Aku memanggil nama mereka, berteriak dan terus berteriak. Ayah, ibu, dan teman-teman, dimana mereka?. Air, mengapa begitu banyak air disekitarku? bencana apa ini tuhan?. Tenggorokanku tercekat, ketika ku lihat dengan mata kepalaku sendiri, begitu jelas kedua jasad itu terapung beberapa meter dari tempatku terduduk lemah, tenggorokanku tercekat, aku ingin berteriak namun tak mampu. Aku mulai tersadar, ternyata banyak jasad lain disekitarku yang terapung-apung tanpa nyawa. Tubuhku bergetar hebat, tulangku terasa ngilu semua, tuhan apa hanya aku yang selamat dari bencana ini? kenapa?.
Beberapa hari ini siaran berita tv ditempat penampungan bencana selalu menyiarkan perkembangan evakuasi bencana yang mereka sebut bencana tsunami itu. Aku meringkuk di pojok tenda memikirkan nasibku yang kini sendiri, aku seperti kehilangan segalanya. Bencana ini mengambil semuanya dariku. Tempat awal dari mimpiku kini bermuram durja. Mungkin tidak hanya aku yang merasa seperti ini, banyak orang yang juga merasakan hal yang sama, hidup bersama kenangan manis dengan orang-orang tersayang yang kini telah dipanggil oleh tuhan.
“Onee-chan.”
Ku dongakkan kepalaku, gadis yang memanggilku onee-chan itu tersenyum dengan senyum khasnya yang memamerkan kedua lesung pipitnya.
“Onee-chan, sekarang waktunya makan siang.”
Gadis itu baru aku kenal beberapa hari yang lalu. Dia adalah salah satu sukarelawan bencana yang nampaknya masih sangat muda, sepertinya dia sangat suka mengingatkanku untuk segera makan.
“Ah, iya aku akan segera ke sana.” Jawabku dengan malas
“Ayolah onee-chan, yang lain sudah menunggu di ruang makan.” Ajaknya sambil menyentuh punggung tanganku. Dengan sedikit malas aku beranjak dan menuju tenda lain yang dia sebut ruang makan itu. Tenda besar yang cukup luas itu memang berfungsi sebagai ruang makan bagi korban bencana. Benar kata gadis itu, sudah banyak orang memenuhi tenda itu. Mereka duduk bersila di tanah yang beralaskan tikar. Di sini kami semua sama, kehilangan harta paling berharga dalam hidup yaitu keluarga dan teman-teman.
Baca lebih lanjut →