Unyeg-unyeg saja

Sudah lama tidak menulis lagi, rasanya sangat takut ingin memulai lagi setelah sekian lama. Ketika membaca ulang apa yang saya tulis rasanya menyesal meninggalkannya begitu saja. Sekarang ketakutan ini yang bikin kepikiran. Bisa gak ya bikin kata-kata kayak gitu lagi, bisa gak ya bikin ide kyk gitu lagi, bikin ide yang lebih bervariasi. Banyak kekhawatiran dan pertanyaan di benak saya. Menjadi penulis pemula rasanya sulit, memang sulit ketika kita gak dapat inspirasi. Rasanya buntu, mau jalan kemana juga bingung. Kadang iri kalau lihat tulisan orang lain, lalu bangkitlah kemauan ingin menulis. Tapi ya gak ada ide itu bikin saya mengurungkan niat. Karena ada satu dua hal juga yang bikin saya makin malas nulis, misalnya ingin mencoba kegiatan yang baru, tapi malah buang-buang waktu dan gak memberi manfaat. Malah curhat kan panjang lebar. Kalo lagi mellow dulu itu ide suka muncul, sekarang mau mellow gimana pun malah gak terpikirkan apa-apa, payah sekali -__-

Harus giat mengamati karya orang lain lagi biar bisa tau sampai mana saya harus berusaha, semoga gak mandeg lagi. Dasar labil, kalau kata anak sekarang hahaha…

Otak saya rasanya mau meledak kalau galau soal nulis. Kadang membodohkan diri sendiri, payah banget sih payah kamu payah. Bahkan sekarang juga sudah lupa caranya ngeblog hahaha, hadeh apa-apa kamu kok lupa sih ingatnya itu lho apa hey kamu jangan diam aja kurang responnya jangan lempeng kamu ya. Waktu itu ada yang bilang semacam itu pada saya tapi saya lupa bagaimana kalimatnya hahaha. Lupa lagi apa gak ada kalimat lain.

Sekarang entah kenapa saya lagi tertarik sama dunia kosmetik. Masa ya ikut ikutan jadi beauty blogger hihihi. Tidak pintar menilai suatu produk, ya pokoknya dipakai saja enak. Halah apa ini.

Intinya jadi meluber kemana-mana, fokus dong kan katanya mau nulis. Coba dong cobaaa…

Pas liat blog jadi asing, kok rasanya jadi gaptek ya hahaha

Menulis kembali

Aku hampir saja melupakannya..

Melupakan dunia yang dulu sangat aku cintai..

Dimana aku dapat mengekspresikan diriku lewat kata-kata..

Ah, aku rindu menulis..

 

Banyak hal yang telah terlewati..

Banyak hal yang telah diceritakan..

Aku pikir aku ingin bertahan di sini lebih lama lagi..

Aku ingin menyibukkan hariku dengan merangkai kata-kata..

 

Waktu, berilah aku kesempatan..

Sekali lagi berkutat dengan berjuta ide..

Meluapkan hal-hal yang aku sukai..

Membingkai tiap momen kehidupan..

I Have a Dream

Apa yang ingin kau lakukan ketika kau menjadi dewasa?, adakah mimpimu yang belum tercapai?. Bagaimana masa depanmu kelak jika kau tak memiliki mimpi, bagiku itu adalah salah satu tujuan mengapa kita hidup. Aku sudah terlalu kebal mendengar teguran dan nasihat, aku tak ingin menjadi seperti yang kalian inginkan, aku hanya ingin mengejar impianku. Meski mereka bilang ini hanya bagian dari fantasiku yang terlalu berlarut-larut, aku tetap menggenggam erat impian itu bersama harapan. Walau kenyataannya kini belum teraih juga.

Sang malam menjemput senja yang bermain di langit sore. Aku meletakkan gitarku ke dalam kotaknya. Orang-orang yang tadi mengerumuniku lambat laun pergi, menyisakan aroma-aroma berbeda dari tubuh mereka. Jalanan mulai gelap dan udara mulai dingin, kursi tunggu disepanjang peron stasiun ikut menjadi dingin karena rangkanya terbuat dari besi, hal ini cukup membuatku menggigil sambil menunggu kereta yang akan mengantarku pulang. Baca lebih lanjut

Just a …

Aku tak memiliki lagi apa yang disebut tekad

Aku tak lagi memiliki hasrat

Bolehkan aku jatuh dan menyerah sekarang

Terlalu lelah dengan semua ini

Aku hanya memiliki air mata

Yang menguatkan emosiku sekarang

Aku tak dapat melukis gelora itu

Menguncinya lalu membuangnya

Dimana jalan tanpa duri

Aku lelah melangkahi kerikil ini

Semua harapan itu sirna

Berlari dari kenyataan yang tak pernah ku pinta

Panggil aku pengecut

Pengecut…

Altair

Cinta, hal yang dulu pernah kau ajarkan padaku. Yang pernah aku pertahankan dengan susah payah, meski akhirnya angin menerbangkannya bersama abu musim panas. Kemudian waktu menuntunku ke masa dimana aku selalu mempertanyakan keadilan. Ternyata hidup tak semudah seperti yang aku bayangkan ketika aku masih kecil. Segitiga musim panas yang selalu kita cintai ternyata adalah kisah terakhir kau berpulang pada tuhan. Meski itu sudah 10 tahun lalu aku tak pernah melupakannya, dan tersimpan jelas di memoriku. Aku telah membuat Tanzaku untuk kita di festival Tanabata yang tinggal beberapa hari lagi. Kau pasti masih ingatkan?, ketika dulu kita membuat Tanzaku untuk kita sendiri kemudian melarungkannya di sungai pada malam hari, ketika itu segitiga musim panas menjadi saksinya. Kau tahu, selama 10 tahun ini aku melarungkannya sendiri. Aku sering mengingatmu ketika melalui jalan setapak menuju sungai, melewati taman hijau dengan bunga-bunga yang cantik. Aku jadi rindu padamu, Altair. Jika akhirnya kita harus berpisah seperti ini, harusnya dulu aku menolak untuk menjadi Vega-mu.

***

“Apa harapanmu untuk tahun ini?” tanyaku pada seorang anak lelaki seumuranku yang sedang sibuk dengan Tanzaku-nya. Dia melirikku sekilas lalu berkata,

“Rahasia.” Ujarnya sambil menyunggingkan senyumnya yang nakal

“Dasar pelit.”

Dia tetap tak berpaling padaku dan asik dengan dunianya sendiri.

“Sepulang sekolah ikut aku mencari bambu ya.”Ujarnya

“Untuk apa?”

“Tentu saja untuk festival Tanabata, lihat aku sudah membuat permohonan sebanyak ini, aku ingin melarungkannya sendiri di sungai.”

“Kau membuat permohonan sebanyak itu? itu namanya serakah.”

“Dasar nenek cerewet, mau ikut aku tidak?”
Baca lebih lanjut

Yang lebih berharga

Gitar berwarna coklat yang berdiri kaku dipojok kamarku seakan menjadi saksi bisu sebuah mimpi yang dulu ingin aku raih, yang akhirnya harus aku pendam sedalam-dalamnya kala aku harus menerima segala kemalangan ini. Senar gitarnya yang dulu kokoh, kini terlihat berkarat dan beberapa sudah putus. Teringat saat terakhir aku bersama mereka, berpeluh semangat menggapai mimpi. Kini tersisa tangis dan kenangan yang mengisi memori lamaku. Bukannya aku ingin kembali ke masa lalu. Namun kisah kelam itu telah merampas hidup dan jiwaku. Tabung-tabung asa itu tak lagi memberiku nafas, semakin menghilang, semakin tenggelam, semakin pudar dan sirna. Hari kelam itu masih terekam sempurna dibenakku, dan kini hatiku masih semuram 3 tahun lalu.

***

Awal dari kekosongan hidupku. Seakan baru sedetik lalu aku berbicara dengan mereka, bercanda dengan mereka, bercengkrama dengan mereka. Kini yang ku lihat hanya puing-puing dan segala perabotan yang mulai ditelan perlahan-lahan oleh air yang sangat banyak itu. Aku memanggil nama mereka, berteriak dan terus berteriak. Ayah, ibu, dan teman-teman, dimana mereka?. Air, mengapa begitu banyak air disekitarku? bencana apa ini tuhan?. Tenggorokanku tercekat, ketika ku lihat dengan mata kepalaku sendiri, begitu jelas kedua jasad itu terapung beberapa meter dari tempatku terduduk lemah, tenggorokanku tercekat, aku ingin berteriak namun tak mampu. Aku mulai tersadar, ternyata banyak jasad lain disekitarku yang terapung-apung tanpa nyawa. Tubuhku bergetar hebat, tulangku terasa ngilu semua, tuhan apa hanya aku yang selamat dari bencana ini? kenapa?.

Beberapa hari ini siaran berita tv ditempat penampungan bencana selalu menyiarkan perkembangan evakuasi bencana yang mereka sebut bencana tsunami itu. Aku meringkuk di pojok tenda memikirkan nasibku yang kini sendiri, aku seperti kehilangan segalanya. Bencana ini mengambil semuanya dariku. Tempat awal dari mimpiku kini bermuram durja. Mungkin tidak hanya aku yang merasa seperti ini, banyak orang yang juga merasakan hal yang sama, hidup bersama kenangan manis dengan orang-orang tersayang yang kini telah dipanggil oleh tuhan.

“Onee-chan.”

Ku dongakkan kepalaku, gadis yang memanggilku onee-chan itu tersenyum dengan senyum khasnya yang memamerkan kedua lesung pipitnya.

“Onee-chan, sekarang waktunya makan siang.”

Gadis itu baru aku kenal beberapa hari yang lalu. Dia adalah salah satu sukarelawan bencana yang nampaknya masih sangat muda, sepertinya dia sangat suka mengingatkanku untuk segera makan.

“Ah, iya aku akan segera ke sana.” Jawabku dengan malas

“Ayolah onee-chan, yang lain sudah menunggu di ruang makan.” Ajaknya sambil menyentuh punggung tanganku. Dengan sedikit malas aku beranjak dan menuju tenda lain yang dia sebut ruang makan itu. Tenda besar yang cukup luas itu memang berfungsi sebagai ruang makan bagi korban bencana. Benar kata gadis itu, sudah banyak orang memenuhi tenda itu. Mereka duduk bersila di tanah yang beralaskan tikar. Di sini kami semua sama, kehilangan harta paling berharga dalam hidup yaitu keluarga dan teman-teman.

Baca lebih lanjut

You Are My Friend (Cerpen)

cerpen you are my friend cover

‘Kamu adalah sahabatku, sedangkan aku seorang pengecut yang tak dapat membelamu.’

Airi, begitulah semua orang memanggilnya. Seorang gadis pendiam diluar namun sebenarnya dia sangat hangat, dan ceria didalam.

“Kau tau kenapa aku suka melihat awan dan matahari?” tanya Airi tiba-tiba padaku

“Memangnya kenapa?” tanyaku balik

“Karena jika mereka bersama kau akan melihat langit yang cantik seperti sekarang.” Katanya sambil mendongakkan kepalanya ke langit

“Benar, langit menjadi indah.”

“Lalu, aku tidak begitu suka mendung dan hujan.”

“Kenapa?” tanyaku

“Entahlah, mereka membuat langit tidak cantik langit, tidak lagi biru seperti sekarang.”

Aku memandang Airi yang tersenyum memandang langit. Menurutku Airi itu seperti matahari, dia selalu ceria dan tersenyum tiap waktu. Sedangkan aku seperti bunga yang tak dapat tumbuh jika tanpa matahari, jadi aku pikir Airi adalah matahariku. Dia selalu membuatku kembali merekah tiap aku patah semangat, selalu mendengarkan curhatanku, dan menghiburku jika aku sedih.

Airi mungkin matahari bagiku, tapi bagi Yuma, Airi itu seperti hal buruk yang harus disingkirkan. Aku terkadang tak habis pikir bagaimana bisa Yuma begitu membenci Airi hanya karena ia saudara tirinya. Padahal Airi tak pernah jahat padanya, tapi Yuma begitu bencinya pada Airi. Apa memang sikap seorang saudara tiri seperti itu?.

Aku, Airi dan Yuma adalah teman sekelas. Yuma suka meluncurkan kata-kata kasar bila matanya itu sudah menangkap sosok Airi. Tidak segan ia melakukan hal yang disengaja, seperti tiba-tiba dia menjegal Airi yang berjalan ke arahku. Yuma hanya tersenyum sinis dan pergi. Yang dapat kulakukan hanya membantu Airi berdiri dan mengobati lukanya, aku tak bisa membalas Yuma, membela pun aku tak sanggup. Ada apa denganku? apa aku terlalu takut pada Yuma yang tatapannya seperti iblis yang siap menerkam siapa saja yang berani melawannya?.
Baca lebih lanjut

Ku Temukan Hujan

Aku menemukan hujan…
Diawal bulan oktober
Di jalan yang ku sebut perantauan
 
Aku menemukan hujan…
Setelah panas yang tak kunjung berhenti sepanjang bulan
 
Aku menemukan hujan…
Dikala deru-deru mesin menembus tiap tetesnya tanpa takut
 
Dan aku menemukan bau tanah yang tlah lama ku rindukan…

 

 

7 oktober 2012
Kala hujan mengguyur sepulang menonton film Perahu Kertas 2

Penyelidikan Berdarah

Kenekatanku untuk datang ke gedung tua itu masih tak dapat menutupi rasa takutku. Gedung tua itu dulunya adalah sebuah sekolah, tapi 3 tahun yang lalu sekolah itu mengalami kebakaran besar sehingga menewaskan puluhan jiwa. Menurut desas-desus dari masyarakat sekitar gedung tua itu, tiap tengah malam selalu terdengar jeritan-jeritan misterius, serta cahaya aneh yang sekilas menampakkan bayangan hantu korban-korban kebakaran sedang berjalan-jalan dalam gedung itu.

“Gara-gara sifat sok detektifmu, kami berdua jadi mengikutimu ke gedung tua seram ini.” Gerutu Ibel, temanku. Di iringi anggukan setuju temanku yang lain bernama Karim.

“Habisnya berita kematian seorang gadis sebulan lalu di gedung ini tidak masuk akal, apa iya hantu bisa membunuh manusia?”

Kedua temanku itu hanya bisa menuruti jiwa ke-sok detektifanku. Malam semakin larut, cahaya bulan purnama memberikan efek seram pada gedung tua itu, dan membuat bulu kudukku berdiri. Senter yang kami bawa lumayan membantu memberikan kami penerangan ketika mulai masuk ke dalam gedung tua itu.

Semakin masuk kedalam, suasana mencekam semakin terasa. Ketika kami memasuki sebuah lorong yang menghubungkan tiap-tiap kelas, Ibel tersentak ketika senternya membidik sebuah jejak berdarah yang nampaknya sudah mulai hilang.
Baca lebih lanjut